Dirimu Ada di Tulisanmu

Rabu, 01 Desember 2010 § 0

Dirimu Ada di Tulisanmu
“Ughh.. sebel, kesel!” Mau marah tapi nggak tahu pelampiasannya kemana. “Aiihh… senengnya, bahagia deh,” tapi kalau diceritain ke orang lain belum tentu si
pendengar bisa ikutan bahagia. “Wuuiihh.. malu, payah deh,” pengen banget ada yang bisa dijadiin curhat, tapi siapa?

Baiklah, kalau begitu ambil pena beserta selembar kertas atau sebuah diary, lalu menulislah. Ungkapkan semua rasa kesal, senang, benci, pokoknya semua yang dirasakan ke dalam tulisan sebagai pelampiasan. Begitulah kira-kira alasan kenapa saya suka menulis. Menulis adalah ekspresi diri. Saya bisa puas mengekspresikan rasa gembira, senang, sedih, benci dengan bebas tanpa ada rasa khawatir orang lain akan merasa terganggu dengan curhat kepiluan dan rasa bahagia yang sedang dialami.

Dengan mencurahkan ekspresi diri pada sebuah tulisan setidaknya saya dapat meringankan beban jiwa dan pikiran yang mungkin sulit dijabarkan secara terbuka pada orang lain. Saya menyebutnya self digesting. Disana bebas berekspresi menjadi si pemarah, si periang atau menjadi siapa saja yang saya inginkan. Tidak perlu bingung memilih kata-kata yang indah untuk mengungkapkannya karena ia lahir begitu saja dari kondisi jiwa yang ada pada saat itu. Yang penting dapat mengungkapkan ekspresi diri sepuas mungkin, seolah dihadapan saya ada seseorang yang turut mendengarkan atau melihat tulisan tersebut. Meski hanya berupa ekspresi diri, sedapat mungkin dalam tulisan tetap disisipi aktualitas, hal baru (novelty), kemanusiawian, ataupun konflik dan ketegangan, sehingga tulisan tersebut merupakan suatu berita bermakna tentang peristiwa batin saat itu.

Saya ingat, tulisan pertama yang mengungkapkan ekspresi diri muncul saat kelas satu SMP. Tulisan tersebut berhasil dimuat di mading (majalah dinding) sekolah. Saat itu saya mengekpresikan diri menjadi si pemarah yang sedang merasa kesal pada seorang guru yang merobek buku saya dihadapan teman-teman. Alasan guru tersebut cuma satu, saya tidak menyalin tulisan sesuai dengan apa yang ada di papan tulis dan meyuruhnya menyalin ulang setelah merobek lembaran tersebut dari buku saya. “Glek…!” Tentu saja perasaan malu, kesal, marah, bergemuruh di dada, tapi tak punya keberanian untuk mengungkapkan emosi jiwa tersebut secara langsung. Hingga akhirnya dipilihlah jalan dengan menulis untuk mengungkapkan unek-unek. Berhasil, guru tersebut membaca tulisan mading ekspresi jiwa `marah` saya dan meminta maaf.

Dari pengalaman tersebut, saya tersadar betapa berartinya sebuah kekuatan tulisan berisi ekspresi diri. Ia dapat menggantikan corong bicara bagi saya yang memiliki sifat tak berani tampil di depan umum. Akhirnya, mulailah saya rajin mengekspresikan diri melalui tulisan-tulisan, walaupun itu hanya sebatas pada diary ataupun jurnal pribadi.

Dalam Islam sendiri, Rasulullah SAW telah memberi contoh betapa berharganya sebuah tulisan berisi ekspresi diri. Keberadaannya merupakan salah satu bentuk dakwah Islam. Contoh ekspresi diri beliau yang diungkapkan dalam tulisan adalah surat yang ditunjukan kepada Gubernur Mesir bernama Muqauqis. Sebuah tulisan yang berhasil membuat Gubernur Mesir tersebut tenggelam dalam pikirannya, tersentuh oleh kata-kata yang berada di dalamnya. Hingga akhirnya Muqauqis membalas surat tersebut untuk megakui seruan Rasulullah saw.

Begitu pun Yusuf Al-Qardhawi, seorang penulis ternama beberapa buku tentang Islam. Ia mulai aktif menulis setelah keluar dari penjara tahun 1956, ketika pihak kerajaan Arab melarang segala aktifitasnya berceramah dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat umum. Untuk mengekpresikan diri dalam dakwah karena pelarang tadi, Yusuf Qardhawi mulai menulis. Beberapa tulisan ekspresi diri, curahan jiwanya mulai sering mengisi majalah Al Azhar serta kolom artikel Mimbar Islam. Hingga terbitlah buku pertamanya di tahun 1960 dengan judul Al-Halal wa al-Haram fi al-Islam.

Saya memang belum sekelas dengan Yusuf Al-Qardhawi atupun penulis ternama lainnya dalam mengekspresikan diri dalam tulisan. Tapi saya teringat akan kata-kata Pramoedya Ananta Toer dalam Menggelinding, 2004, seperti ini: “Semua harus ditulis. Apapun… Jangan takut tidak dibaca atau diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis dan tulis. Sutau saat pasti berguna.” Dan inilah yang sekarang berusaha saya terapkan. Tetap setia menulis, mengungkapkan ekpresi diri dari apa yang terlihat, terdengar, dirasakan dan dialami oleh diri sendiri.

Tujuan saya menulis, bukanlah semata agar tulisan tersebut banyak dibaca khalayak ramai. Saya hanya sekedar ingin mengekresikan diri disana, yang siapa tahu suatu saat dapat menjadi tapak tilas yang berguna bagi kehidupan saya sebagai ajang muhasabah. Mudah-mudahan dengan melampiaskan ekpresi diri pada tulisan saya pun lebih bisa mengontrol kecerdasan emosi agar dapat menjadi orang sabar. Seperti yang disebutkan dalam firma-Nya “Innallaha ma`asshabirin.” Insya Allah.
* Lizsa Anggraeny, FLP Jepang * (dari blog tetangga kita)

What's this?

You are currently reading Dirimu Ada di Tulisanmu at Risnaldi Sikumbang.

meta

§ Leave a Reply