Syapur
kelelahan setelah semalaman suntuk ikut pesta bersama pangeran muda
Khusraw. Syapur coba mencari pasangan yang tepat unutk Khusraw, dan dia
merasa puas dengan upayanya semalam. “Kugunakan trik tertua yang ada
di buku, “pikirnya, menyeringai pada dirinya sendiri sambil naik ke
pembaringan. “Dan Khusraw terperangkap! Semakin banyak semakin baik
untuknya.” Dengan lebih serius Syapur membayangkan, ‘Yah, tinggal
menunggu waktu hingga dia menemukan seseorang dan tenanglah hidup.
Sampai kapan dia akan terus hidup bersenang-senang tanpa tanggung
jawab?”
Apa
yang sudah dilakukan oleh sepupu dan pejabat istana pangeran Khusraw
tersebut adalah menceritakan seoran gputri yang pernah dilihatnya di
Armenia dengan penuh semangat. Di akhir pesta, Kusraw telah begitu
terpana oleh pesona putri tersebut sehingga dia langsung jatuh cinta
pada bayangannya semata. Syapur sendiri kagum dengan gambaran yang
keluar dari bibirnya, sulit dipercaya bahwa dia dapat menciptakan
bayangan yang sangat memikat semacam itu.
Obyek
fantasi Khusraw, yakni Syirin, tidak tahu sama sekali tentang rencana
Syapur. Seandainya tahu pun, Syirin tidak akan peduli. Gadis muda ini
terlalu mandiri untuk membiarkan masalah pernikahan mengganggu
pikirannya. Barangkali justru jiwa bebasnya ini yang membuatnya sangat
menarik. Dia dibesarkan sebagai satu-satunya pewaris tahta Armenia.
Bibinya, Sang Ratu Agung Mahin, tidak memiliki anak, yang membuat
Syirin menjadi penerusnya. Mungkin, karena itulah Syirin mencurahkan
energinya untuk mempelajari pelbagai keahlian yang biasanya tidak
menarik minat kaum wanita di zamannya, seperti menunggang kuda,
berburu, dan seni perang.
{jcomments on}
Bukan
berarti Syirin tidak memiliki kualitas feminine, justru sebaliknya. Dia
sangat cantik: matanya yang biru laut tampak bersinar, pipinya yang
begitu merona tampak luar biasa, memberinya kulit terang; rambutnya
bergelombang, tebal dan gelap, menari liar membingkai wajahnya.
Benar-benar kecantikan yang sempurna sehingga pujian Syapur yang
berlebihan pun sebetulnya masih wajar. Pangeran begitu ingin melihat
Syirin, maka Syapur pun berangkat ke Armenia dengan maksud untuk membawa
sang putri bersamanya.
Musim
panas dengan cuacanya yang cerah dan bunga-bunga yang bermekaran,
telah membawa kebahagian bagi Armenia. Kebiasaan Syirin selama musim
panas adalah menghabiskan waktu seharian di daerah pedalaman. Tempat
khususnya merupakan sebuah tempat peristirahatan di dekat air terjun
yang dikelilingi semak belukar lebat, terlindung dari pandangan orang,
di mana dia dan dayang-dayangnua dapat bebas berenang. Biasanya dia
juga ditemani sahabat-sahabatnya.
Ketika
Syapur tiba di ibukota Armenia, dia mendapat kabar bahwa putrid
sedang berpesiar ke luar kota. Syapur langsung melaju ke daerah
pedalaman. Di jalan dia membuat rencana untuk menarik perhatian Syirin
kepada Khasraw. Hari sudah sore ketika Syapur tiba di tempat
peristirahatan kerajaan. Dia turun dari kudanya dan berjalan
mengendap-endap. Sejenak dia mengamati putri dan para sahabatnya yang
sedang bergembira dari balik sebuah pohon. Kemudian dia melihat
sekelilingnya dan menemukan pohon kenari yang sempurna untuk
menjalankan rencananya.
Dengan
hati-hati dia mengambil sebuah gambar dari kantung sadelnya dan
membawa gambar itu menuju pohon kenari. Seorang seniman berbakat telah
membuat gambar tersebut, gambaran hidup yang begitu mirip dengan sang
pangeran tampan. Dalam lukisan itu Khusraw mengenakan jubah satin
berwarna biru gelap yang diberi ornamen intan dan safir, tangan
kanannya bertumpu pada sebuah pedang yang menyembul dari ikat
pinggangnya. Mata hitam Khusraw yang ekspresif menatap langsung mata
orang yang melihat lukisan itu. Beberapa ikal hitam berantakan
menghias keningnya, member kesan liar. Dengan hidungnya yang mancung
dan bibinya yang tegas, gambar itu sangat menarik perhatian.
Syapur
memajang lukisan itu pada pohon kenari, dan duduk menunggu di tempat
yang agak jauh. Akhirnya Syirin berpisah dari teman-temannya. Dia
berjalan perlahan, menghirup tiupan angin sepoi-sepoi dan wangi segar
rerumputan. Ketika dia mendekati pohon kenari, langkahnya terhenti dan
dia menutup mata, coba membebaskan pikirannya dari masa lalu atau pun
masa yang akan datang. Pikirannya jernih, dia berdiam diri selama
beberapa menit. Sambil tersenyum dia membuka matanya-dan terpaku pada
lukisan yang bergantung pada pohon kenari. Penasaran, dia mendekati
gambar tersebut dan mengamatinya.
Lukisan
itu adalah gambar seorang lelaki paling tampan yang pernah
dilihatnya. “Gambar siapa ini?” pikirnya. Dia mengambil gambar itu
lalu menatap linglung sesaat, merasakan pusaran di perutnya. Apa yang
terjadi padanya? Dia kembali ke tempat peristirahatan sambil
menyembunyikan gambar itu di balik pakaiannya. Acara jalan-jalan yang
tadinya akan dilakoninya, telah terlupakan. Sepanjang hari Syirin
duduk di tepi sungai, menatap permukaan air. Dia tidak berbicara
kepada siapa pun; bahkan tidak menjawab pertanyaan teman-temannya yang
terkejut melihat perubahan suasana hatinya mendadak. “Ayloah, Syirin,
ada apa denganmu?” Tanya mereka. “Engkau terlihat seperti orang yang
barusan bertemu hantu.” Bukannya menjawab, Syirin berbalik menuju
tendanya, mengeluarkan gambar itu, lalu memandanginya dalam-dalam.
Abigail-pengasuh
Syirin, sdah mengenal baik perubahan suasana hati tuannya, tetapi
kali ini kok ia tidak seperti biasanya. Dengan penuh rasa ingin tahu
dia mengamati Syirin dari kejauhan. Ketika Syirin memasuki tendanya,
Abigail mengikuti. Dengan hati-hati dia mengintip ke dalam tenda dan
melihat Syirin yang sedang menatap sebuah gambar. Saat Syirin
tertidur, Abigail berjingkat masuk, lalu perlahan-lahan menarik
lukisan itu dari bawah kasur Syirin.
Karena
terlalu khawatir terhadap tuannya, Abigail membawa lukisan itu kepada
teman-teman Syirin dan menceritakan apa yang sudah dilihatnya.
Setelah membahas perubahan aneh yang terjadi, teman-teman Syirin
menyimpulkan bahwa Syirin, entah bagaimana menderita sakit karena
cinta kepada lukisan yang ditemukannya. Sore itu juga mereka
mendatangi Syirin dan menasihatinya agar melupakan semuanya.
“Bagaimana jika bibimu mengetahuinya?” salah satu dari mereka
bertanya. “Apa yang akan kauceritakan? Bahwa kau telah jatuh cinta
kepada sebuah gambar?” namun tiada guna mengalihkan perasaan Syirin.
Gambar itu telah menjerat hatinya.
Betapa
Syirin dan Khusraw sudah saling jatuh cinta pada bayangan
masing-masing-padahal bertemu pun mereka belum pernah! Ironis, ‘kan?
Syirin
kembali pohon kenari beberapa kali, berharap menemukan secuil berita
tentang orang yang ada di dalam gambar itu. Dia meminta
dayang-dayangnya mencari di sekitar tempat itu dan melihat apa yang
bisa mereka temukan.
Dayangnya
menemukan Syapur, yang sedang bersandar di sebuah pohon tidak jauh
dari tempat peristirahatan tersebut. Syapur dibawa menghadap sang
putri. Setelah menyuruh dayangnya pergi, Syirin menanyai tentang siapa
dirinya dan apa yang dilakukan Syapur di tempat peristirahatan
Kerajaan Armenia. Syapur mengenalkan dirinya, menenteramkan hati sang
putri dengan kehormatannya, dan menerangkan bahwa dia hanya seorang
pengembara lewat.
Syirin
menyipitkan mata dan menatap Syapur, “Ada orang yang telah
menggantungkan gambar asing pada pohon di dekat sini,” katanya. Lalu
Syirin memperlihatkan gambar itu kepada Syapur, “Apakah engkau melihat
orang lain di sekitar sini?”
Syapur
memandang gambar itu, pura-pura terkejut. “Kenapa” ini lukisan
Pangeran Khusraw dari Persia!” Syapur menatap Syirin dengan ekspresi
penuh kekaguman, “Beliau adalah orang yang paling berani.” Dia
meletakkan lukisan itu dan berkata, “Hamba pernah mendapatkan
kehormatan berada di dalam istananya dan menemaninya selama
bertahun-tahun. Hamba juga kerabatnya.”
Terlupakan
akan tujuan semula untuk mengetahui dari mana gambar tersebut
berasal, Syirin mendesak Syapur bercerita lebih banyak tentang sang
pangeran. Dengan cara yang sama ketika dia menceritakan sang putri
kepada Khusraw, Syapur menggambarkan sepupunya kepada Syirin. Syapur
membujuk Syirin supaya berangkat ke Persia sesegera mungkin untuk
menemui Khusraw. “Hamba yakin pengeran akan tersanjung menemui tuan
putri."
Syirin
berpikir cepat. Bepergian ke Persia? Tetapi bagaimana dia bisa
menjelaskan alasan kepergiannya kepada bibinya? Bagaimana jika dia pergi
sendirian? Dia akan memikirkan beberapa alasan dan menulis surat
kepada bibinya begitu dia tiba di Persia dan telah menemui pangerannya.
Barangkali saat itu ada berita baik yang dapat disampaikan! “Aku
tidak membiarkan seorang pun tahu atas kepergianku,” kata Syirin
kepada Syapur, “karena bibiku mungkin akan mengirimkan orang-orangnya
untuk menyusulku.”
Syapur
menjamin bahwa dia akan mengalihkan perhatian para dayang sehingga
Syirin dapat melarikan diri dengan aman. Dia akan bergabung dengan putri
kemudian, dan memastikan tidak ada seorang pun yang mengikuti mereka.
Dia menyarankan agar putri berpakaian seperti seorang laki-laki demi
menjaga keamanan. Dia akan memberikan putri seperangkat pakaiannya
dari kantung sadelnya.
Dan,
begitulah, Syirin memacu kudanya, Syabdiz, yang merupakan kuda
terbaik dan tercepat di Armenia. Tak seorang pun dapat berharap
mengejar Syirin bila dia sedang menunggangi Syabdiz! Bahkan Syapur
yang menyusul hanya dua jam setelah Syirin, tertinggal bermil-mil di
belakang. Pada saat bibi Mahin mengetahui Syirin menghilang, gadis itu
terada berada sangat jauh. Dan tak seorang pun tahu ke mana tujuan
Syirin.
Di
Persia, Raja Hurmuz mengadakan lawatan singkat. Memanfaatkan
kepergian ayahnya, Khusraw memutuskan untuk membuat koin-koin baru
yang bergambar dirinya sebagai pengganti sang raja. Ketika Hurmuz
kembali ke Mada’in, ibukota Kerajaan Persia, dia sangat marah terhadap
kelakuan putranya yang kurang ajar. “Apa yang dia fikirkan-'sekarang
ayahku pergi, akulah Raja Persia?”’ ujarnya dengan marah kepada
penasihatnya. “Aku ingin dia keluar dari ibukota. Dia tidak akan
pernah kembali lagi ke sini!”
Tetapi
bahkan sebelum titah raja disampaikan, Khusraw sudah pergi ke
Armenia. Sahabat-sahabat Khusraw di istana telah memperingati Khusraw
tentang kemarahan raja. Di samping itu, kesabarannya menipis, menunggu
berita yang tak kunjung tiba dari Syapur. Dia memutuskan untuk
mencari sendiri Syirin.
Di
dalam perjalanan, Khusraw berhenti di sebuah sungai untuk
beristirahat. Namun, dia merasakan bahwa dia tidak sendirian. Dengan
hati-hati dia membawa kudanya bersembunyi di balik semak belukar.
Tampak seorang gadis yang sedang berenang di sungai. Tubuhnya yang
seperti di pahat dengan kulit putih-pualam bergerak mulus seperti
seekor ikan di dalam air, dan rambutnya yang kusut, tampak liar
melekat pada wajah dan bahunya, memberinya kecantikan yang alami.
Khusraw menahan napas melihatnya. Entah bagaimana, dia merasa pernah
melihat gadis itu sebelmnya, tetapi dia tidan ingat di mana atau
kapan. Ketika gadis itu muncul dari air lalu mengenakan pakaian-yang
anehnya, pakaian laki-laki Khusraw mwmalingkan muka, merasa jengah
melihat tubuhnya yang telanjang.
Mendengar
suara kuda meringik, pangeran kembali memalingkan muka-dan hanya
menemukan bahwa gadis itu telah lenyap secepat angin. Khusraw berkuda
mengelilingi daerah tersebut, tetapi tidak menemukan jejak gadis itu.
“Kuda macam apa yang dapat berlari begitu kencang?” tanyanya heran.
Pangeran
masih harus berusaha menempuh jarak bermil-mil sebelum akhirnya tiba
di ibukota Armenia ketika dia melihat seseorang berkuda di kejauhan.
Ternyata orang itu adalah Syapur. Khusraw menyambut Syapur dengan
gembira dan menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Persia ketika
Syapur pergi, dan menambahkan bahwa dia sedang dalam perjalanan mencari
suaka kepada Mahin. Syapur, pada gilirannya, mengabarkan berita
tentang pelarian Syirin ke Persia. Khusraw baru menyadari bahwa gadis
mempesona yang tadi dilihatnya berenang di sungai pastilah Syirin.
Sayangnya,
mereka tidak mungkin kembali, karena Khusraw telah membuat ayahnya
murka. Tanpa dukungan dan perlindungan ayahnya, hidup Khusraw terancam
oleh anggota-anggota istana yang oportunitis. Dia sudah mencurigai
bahwa ada pegawai istana yang sedang berencana merebut takhta, tetapi
Khusraw tidak dapat membuktikannya kepada ayahnya. Yang lebih buruk,
kepergian Khusraw dari istana akan memudahkan orang-orang itu menyerang
raja. Khusraw mengkhawatirkan yang terburuk, tetapi sementara ini
sebaiknya dia menjauh. Begitu kemarahan ayahnya reda, dia akan kembali
dan meminta maaf. Maka KHusraw pun memacu kudanya terus ke Armenia.
Ketika
Syirin tiba di Mada’in, dia baru tahu bahwa pangeran telah melarikan
diri. Apa yang harus dia lakukan? Di satu sisi dia menyesal telah
datang ke Persia, tetapi di sisi lain, dia tidak punya keberanian
untuk kembali ke Armenia dan menghadapi bibinya. Ketika Raja HUrmuz
diberitahu tentang identitas sang putri dan alasannya datang ke
Persia, raja memperlakukan putri dengan sangat baik-bahkan beliau
memerintahkan membangun rumah besar di permukiman Khusraw yang berada
tidak jauh dari Mada’in. Sejumlah besar dayang ditunjuk untuk melayani
putri itu. Syirin pun tinggal di dalam rumah besar itu dengan 100
orang pelayan, tetapi dengan hati yang sepi.
Di
Armenia, Mahin menyambut hangat kedatangan Khusraw dan Syapur.
Pangeran ditempatkan di sebuah vila kerajaan. Ketika Khusraw yakin
bahwa Syirin tidak akan kembali dengan sendirinya, dia mengirim Syapur
untuk menjemput putri kembali ke Armenia. Namun takdir menyimpan
permainan lain bagi kedua pencinta tersebut. Belum sehari Syapur
pergi, sebuah pesan datang dari Persia, mengabarkan bahwa Raja Hurmuz
telah wafat. Khusraw diharapkan kembalike Mada’in untuk menerima
takhta. Oleh karena itu Khusraw berangkat ke Persia.
Menjelang
kematiannya, hubungan Raja Hurmuz dengan Syirin berkembang dengan
baik, raja memberinya keakraban yang cair dan sedikit jenaka, dan
Syirin menikmati dukungan raja yang kebapakan-serta, tentu saja,
keakraban mereka. Setelah kematian sang raja, Syirin merasa lebih
kesepian lagi.
Syirin
dan dayang-dayang Khusraw yang dikirim ke tempat tinggalnya tidak
begitu akrab. Para dayang wanita itu, yang sebelumnya menjadi obyek
cumbuan pangeran tidak menyukai Syirin. Mereka berpikir bahwa Khusraw
akan jatuh cinta kepada Syirin bila keduanya bertemu. Didorong rasa
cemburu, mereka berusaha menciptakan ketidaknyamanan bagi Syirin.
Sindiran-sindiran kedengkian mereka wujudkan mulai dari menyediakan air
mandi yang terlalu panas atau terlalu dingin, menyobek jahitan gaun
sang putri sehingga melahirkan “kecelakaan”., hingga menyembunyikan
bangkai tikus di dalam makanan sang putrid. Syirin yang tidak curiga
berusaha mengendalikan situasi. Ketika usahanya gagal, hatinya hancur
brantakan, Syirin begitu sedih dan rindu pulang.
Di
saat-saat seperti itu, Syirin menyesali keputusan yang tidak
memberitahu bibinya ke mana dia pergi atau menjelaskan kepergiannya
yang tergesa-gesa dari Armenia. Alasan apa yang dapat dia berikan,
terutama karena pangeran tidak berada di Persia? Merundang-rundunglah
kerinduan Syirin dan berharap ia tidak pernah meninggalkan Armenia.
Oleh karea itu, ketika Syapur datang menjemputnya kembali ke Armenia,
Syirin sudah jauh lebih dari siap untuk pulang.
Sayangnya,
keduanya tidak menyadari bahwa Khusraw sedang dalam perjalanan menuju
Persia. Dia mengambil jalan pintas dan bukannya jalan utama, sehingga
tidak bertemu dengan Syirin dan Syapur.
Mahin
yang lega melihat keponakannya selamat, menyambut Syirin dengan
terbuka. Syirin kemudian menjelaskan kepada bibinya tentang alasan
kepergiannya. “Nasib, nasib, begitu lucunya,” kata Mahin. “Tahu tidak,
ketika kamu sedang mencari pangeranmu, eh, dianya berada di sini. Dan
sekarang, ketika kamu kembali di sini, dia sudah ada di Persia.” Mahin
merenung sejenak. “Apa pun bisa terjadi. Aku ingin engkau berjanji.”
Syirin mengangguk tanda setuju. “Berjanjilah, bila tiba saatnya engkau
bertemu dengan pangeranmu, engkau akan berhati-hati untuk bergaul
lebih jauh dengannya. Aku takut ia hanya mengejar kesenangan dunia.
Ini sungguh membuatku cemas.” Dengan ayunan tangannya Mahin
menghentikan Syirin yang ingin membantah. “Ya. Aku tahu dia orang
cakap, lincah, dan tampan, namun jika nanti engkau bertemu dengannya,
jangan pernah menyetujui apa pun kecuali menikah dengannya.” Sudah
jelas Mahin tidak akan menerima bantaahan yang ingin dikatakan Syirin,
jadi dengan patuh Syirin berjanji pada bibinya.
Beberapa
hari setelah kedatangan Khusraw di Mada’in, Khusraw dianugerahi
mahkota. Meskipun dia telah memperoleh kekuasaan duniawi yang tinggi,
ia sangat berkonsentrasi pada kesempatan yang agung tersebut. Dia
tidak berdaya, pikirannya tertuju pada Syirin. Kapan mereka akan
bertemu?
Di
antara anggota kerajaan, ada seorang yang bernama Bahran, jenderal
yang tidak menginginkan Khusraw memegang tampuk kekuasan dan tidak
menyetujui cara Khusraw memerintah. Bahram menulis surat kepada para
petinggi tentara kerajaan, yang isinya menuduh Khusraw telah membunuh
ayahnya sendiri dengan tangan dingin untuk memperolah mahkota kerajaan,
dan penilaian bahwa Khusraw tidak becus mengurus Negara, serta
hubungan cinta Khusraw. Dia menyebarkan rumor bahwa Khusraw telah
jatuh cinta kepada gadis asing-jelaslah, katanya secara tidak
langsung, semua raja muda hanya cakap membuang waktu untuk urusan
romansa picisan. Bahram kemudian menyarankan kudeta militer untuk
mengambil alih Negara dari pemuda yang berbahaya dan tidak berguna
tersebut. Para petinggi kerajaan setuju, dan tidak lama kemudian,
pihak militer di bawah pimpinan Bahram mengambil alih ibukota Persia.
Khusraw yang tidak memperoleh dukungan dari sahabat-sahabat ayahnya,
melarikan diri ke Armenia, tempat yang dia tahu akan menerimanya.
Sementara itu Bahram menduduki takhta Persia.
Berita
pergolakan di Persia sampai di Armenia. Syirin mengkhawatirkan
Khusraw tetapi Syapur mampu menenangkannya. Syapur telah menjadi
sahabat dan kepercayaan sang putri. “Jangan takut akan keselamatan
Tuanku Pangeran,” kata Syapur, “beliau terlampau cerdas untuk
membiarkan orang mencelakainya.”
Agar
hati Syirin sedikit gembira, Syapur menyarankan untuk berburu rusa,
satu hal yang dulu menjadi kegemaran sang putri. Oleh karena itu,
Syirin bersama Syapur, diikuti beberapa orang pelayan, berkemah di
sebuah tempat yang jauhnya 15 mil di luar ibukota Armenia. Pada hari
kedua, Syirin melihat seorang penunggang kuda mendekat dari kejauhan,
ketika semakin dekat, Syapur baru mengenalinya. Orang itu adalah
Khusraw yang mengenakan baju putih petani. Setelah menuggu begitu lama
dengan kerinduan yang mendalam, akhirnya Khusraw dan Syirin berdiri
berhadapan. Tetapi pertemuan tersebut begitu mendadak dan tak terduga,
sehingga keduanya hanya bisa menggumamkan salam malu-malu ketika
diperkenalkan.
Khusraw
berkuda bersama rombongan Syirin menuju perkemahan yang menjadi
tempat kesenangan Syirin di pedalaman. Diiringi pemusik dan para
pelayan Syirin, mereka menghabiskan hari-hari dengan bernyanyi dan
menari, minum dan bermain polo. Tentu saja, kedua kekasih yang sedang
asyik itu tidak menyadari berapa lama waktu sudah berlalu.
Beberapa
hari kemudian, Khusraw dan Syirin akhirnya dapat berduan, jauh dari
pandangan yang lainnya. Di bawah pohon kenari yang dulu pernah memajang
gambar misterius Khusraw, mereka berciuman dan saling mengucapkan
cinta. Namun ketika Khusraw meminta Syirin berkencan bersamanya, Syirin
mundur selangkah, “Kupikir engkau mencintaiku,” katanya mencela.
“Aku mencintaimu,” jawab Khusraw. “Itulah sebabnya aku ingin bersamamu.”
Syirin
menggigit bibirnya, coba menahan amarahnya, suaranya bergetar. “Ini
bukan cinta, ini nafsu! Jika engkau benar-benar mencintaiku,
pertama-tama engkau akan mengeluarkan si pengganggu itu, Bahram, dan
mengambil kembali negeri yang menjadi hakmu-baru kemudian engkau meminta
tanganku.”
Khusraw
sangat terpukul oleh kata-kata Syirin yang tajam sehingga dia hanya
dapat menjawab, “Tidakkah kautahu bahwa cinta kepadamulah yang
membuatku meninggalkan negeriku dan datang kemari?” lalu dengan
sekejap mata dia kembali ke perkemahan menaiki kudanya berderap pergi.
Khusraw
tidak berhenti hingga dia mencapai Roma. Di situ ia meminta bantuan
Kaisar Roma untuk merebut kembali negaranya dari Barham. Kaisar Roma
yang terkesan dengan kemudaan dan kecakapan Khusraw, memberian
putrinya-Maryam-untuk dinikahi Khusraw, lantas mengirimkan pasukan
Kerajaan Roma ke Persia. Di hari itu pasukan Khusraw berhasil memiliki
kembali Persia, membunuh si penghianat Bahram, dan merebut kembali
mahkotanya.
Setelah
kepergian Khusraw yang kasar, Syirin menyesali diri, berharap ribuan
kali seandainya saja dia lebih lembut terhadap kekasihnya. Tetapi
sudah terlambat, dia sekarang sendirian lagi, hanya Syapur yang ada
untuk menghiburnya. Syapur mendengarkan dengan sabar ratapan Syirin
yang tanpa henti, dan menjadi teman bagi kesedihan Syirin-kesedihan
yang berlipat ganda karena Mahin, yang telah menjadi ibu bagi Syirin ,
wafat akibat serangan radang paru-paru. Sekarang Syirin menjadi
seorang ratu. Satu tanggung jawab yang merupakan hal terakhir yang
diinginkan Syirin, namun pilihan apa yang dia miliki? Dia baru saja
memebenamkan diri dalam urusan negerinya ketika ia menerima badai
terakhir: datang berita yang mengabarkan bahwa Khusraw telah merebut
kembali takhtanya, tetapi di sampingnya ada wanita lain. Maryam, putri
Roma, sekarang menjadi isteri Khusraw. Hati Syirin luluh-lantak.
Namun demikian, di tengah tangisnya dia masih sempat bergembira,
karena Khusraw telah kembali mendapatkan kembali haknya sebagai raja
Persia.
Pada
akhirnya Syirin tidak dapat lagi menanggung perpisahannya dengan
Khusraw. Tugas-tugas kerajaan bahkan tidak dapat mengalihkannya dari
deritanya syirin merasa sepperti orang asing di negerinya sendiri, dan
merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya kepada rakyatnya.
Karenanya, setelah berembug dengan Syapur, dia memutuskan untuk
meninggalkan Armenia, menyerahkan urusan Negara kepada sepupu
satu-satunya. Berangkatlah Syirin ke Persia.
Syirin
masih memiliki gedung yang dulu dibangun untuknya di dekat Mada’in.
di situlah dia berada agar dapat mendengarkan berita mengenai Khusraw
setiap hari. Dia juga membangun ruangan khusus untuk Syapur, yang ikut
menyertainya ke Persia.
Begitu
Khusraw mendengar bahwa Syirin tinggal di dekatnya, api cintanya yang
tertidur kembali bersemi. Khusraw menyuruh kurir menyelidiki, dan dia
mendapatkan berita kehidupan Syirin sedetail-detailnya,
selengkap-lengkapnya. Setelah membuat keputusan, Khusraw memberitahu
isterinya, “Sayangku, aku ingin Ratu Syirin pindah ke istana ini.”
Dengan ekspresi serius Khusraw coba sebisa mungkin agar tidak
mengkhianati perasaan terdalammnya. “Aku diberi tahu bahwa para
pelayannya tidak banyak membantu, padahal rumahnya sudah tidak dapat
lagi menampung salah satu bawahannya.” Khusraw menatap lembut mata
Maryam yang menyelidik-Maryam jarang menatapnya seperti itu. “Aku akan
dianggap tidak baik bila membiarkan ratu Syirin dalam keadaan begitu
sederhana. Dia seorang anggota kerajaan, dan pikiran bahwa aku
mengabaikan tamuku diperlakukan tidak selayaknya akan menggangguku.”
Khusraw tersenyum berharap dapat meyakinkan isterinya bahwa dia hanya
menjaga kehormatan dirinya sendiri.
Maryam
telah mendengar rumor yang menyangkut cinta suaminya terhadap Syirin,
dan tidak tertipu oleh akting gombal Khusraw yang murahan. Dia mulai
menangis tersedu-sedu, menuduh Khusraw tidak mencintainya, serta
menuduh Khusraw tengah berencana menjalin hubungan romantis diam-diam
dengan Ratu Armenia. “Tidak ada yang tidak layak dan tidak terhormat
karena membiarkannya hidup dengan jalan pilihannya sendiri. Jika ia
ingin hidup sebagai anggota kerajaan, dia akan tetap tinggal di
istananya sendiri, bukan?” tantang Maryam. “Di samping itu,” tambah
Maryam, “dia tidak pernah datang menghadap untuk menghormati kita.
Jadi, dia pasti berharap dibiarkan sendirian.” Ketika Khusraw tidak
memperhatikan tangis ataupun argumennya, dengan marah Maryam melangkah
maju, jarinya terangkat dengan sikap yang mengerikan, dan mengancam,
“Jika nanti aku tahu engkau mendekati Syirin sedikit saja, aku akan
bunuh diri. Itu sumpahku!”
Khusraw
tidak pernah lagi menyebut nama Syirin bila isterinya ada. Tetapi
diam-diam dia memohon Syirin untuk bertemu. Namun, Syirin menolaknya
dan segera mengirimkan pesan singkat: “Sebaiknya engkau tetap setia
kepada isterimu.”
Melewati
hari-hari yang panjang, siang malam memikirkan dan mencemaskan sang
raja, akhirnya membuat Syirin lemah dan sakit. Tabib istana memberinya
resep susu kambing, tetapi satu-satunya ternak gembala yang tersedia
berada di sebuah gunung. Siapa yang akan mengambilkan susu dengan jarak
yang begitu jauh? Syapur punya gagasan untuk mengatasinya: ada
seorang arsitek seniman yang bernama Farhad yang tinggal di dekat
situ. Pastilah Farhad punya jawabannya. Syapur mengundang Farhad dan
menjelaskan keadaan buruk yang menimpa Syirin. Maukah Farhad memikirkan
cara agar dapat segera mengambil susu kambing untuk Syirin? Ketika
seniman muda berbakat itu melihat Syirin, dia langsung jatuh cinta pada
pandangan pertama. Terbakar oleh gairah baru pada tugas yang
dipercayakan kepadanya, Farhad bersumpah akan membawa susu tersebut
kepada Syirin, tak peduli apa pun yang akan dihadapinya.
Farhad yang tinggi dan tampan adalah seorang yang terkuat di Armenia. Dia hidup dengan jujur dan prek
dengan semua kilauan harta atau materi. Bila dia mendesain sebuah
bangunan, motifnya semata-mata karena dia tertarik dengan pekerjaan
tersebut, atau karena ingin membantu orang-orang yang memerlukan bakat
dan karyanya. Sekarang, dengan gairah baru, tanpa menunda waktu ia
mengambil peralatannya dan pergi ke gunung. Seminggu kemudian, arsitek
besar tersebut telah mendesain dan membangun terowongan yang
menghubungkan gunung dengan vila Syirin. Para gembala memerah susu
kambingnya, dan pasokan susu tersebut mengalir langsung menuju pintu
Syirin.
Untuk
menunjukkan penghargaannya atas pekerjaan Farhad yang penuh cinta,
Syirin mengundang Farhad dan menyampaikan rasa terima kasihnya secara
pribadi. Setelah memuji hasil karanya, Syirin mengambil anting-anting
lalu menyerahkan kepada Farhad sambil berkata, “Engkau akan menjadi
kesayanganku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Terimalah giwang ini
sebagai tanda persahabatan. Giwang ini adalah seluruh kekayaanku yang
tersisa sejak aku meninggalkan Armenia.”
Bagi
Farhad, hadiah berharga tersebut melebihi dari apa yang pernah dia
harapkan. Farhad membawa giwang tersebut bersamanya ke mana pun dia
pergi, dan menjadi mabuk cinta kepada Syirin. Farhad menghabiskan
hari-harinya sendirian di gunung, hanya meminum aliran susu dari
terowongan yang dulu dibuatkannya untuk Syirin, demi memenuhi kebutuhan
gizinya. Terkadang dia berjalan di dekat rumahnya Syirin, berharap
dapat memandang sekilas wajahnya. Dia berbicara dengan terbuka kepada
orang-orang tentang perasaannya, dan tidak lama kemudian setiap orang
di Mada’in sudah tahu bagaimana perasaan Farhad terhadap Syirin.
Khusraw
pun mendengarnya. Dia memerintahkan agar Farhad dibawa menghadap, dan
sekarang, dengan tidak sabar Khusraw menatap aula besar di mana dia
akan menerima sang arsitek. Meski berusaha keras, dia tidak juga dapat
mengendalikan ketakutan akan kehilangan Syirin, bahwa Syirin akan
bersama orang yang akan ditemuinya. Ketika penasihatnya mengumunkan
kedatangan Farhad, Khusraw memasang ancang-ancang untuk menghadapi sang
pendatang.
Farhad membungkukkan badan sebagai salam hormat. Dan perlahan meluruskan badan, menatap raja, menunggu titah.
“Engkau
Farhad, si arsitek itu?” ketika Farhad mengangguk membenarkan,
Khusraw menyuruh duduk. “Aku telah mendengar tentang dirimu,” kata
Khusraw sambil berjalan melalui pemuda yang sekarang duduk bersila di
lantai, matanya tampak kuyuh. “Asalmu dari mana?”
Untuk
menambah kerisauan sang raja, Farhad tidak menunjukkan tanda
ketidaknyamanan. Kenyataan bahwa kehadiran Yang Mulia Raja Persia tidak
mempengaruhi sedikit pun. Dengan tenang Farhad mengangkat wajahnya
dan menatap Khusraw. “Jika Yang Mulia maksudkan adalah di mana hamba
lahir, hamba harus mengatakan bahwa hamba lahir di Mada’in. tetapi
sejak hamba jatuh cinta, rumah hamba adalah di mana pun kekasih hamba
tinggal.”
Tampang
geram menghias wajar Khusraw seperti bayangan. Tak seorang pun yang
berani berbicara dengan raja dengan sikap selantang itu. Namun pemuda
tersebut berkata jujur. “Aku diberitahu tentang pekerjaanmu untuk Yang
Mulia Ratu Armenia. Benarkah engkau jatuh hati kepada Yang Mulia?”
Farhad mengangguk. “Benar, hamba mencintai Yang Mulia Ratu, dan ingin mengabdikan hidup hamba untuknya.”
“Itu
mustahil,” Khusraw menggertakkan giginya dan menatap langsung mata
Farhad. “Jangan berharap akan ada keberlanjutan pada kegilaanmu ini.”
“Mungkin
bagi Yang Mulia ini terlihat seperti kegilaan, namun bagi hamba, ini
adalah cinta sejati,” jawab Farhad. “Dan cinta sejati tidak memiliki
akhir. Meskipun terlihat seolah berakhir dengan kematian fisik sang
pencinta, di dalam kenyataannya tetap akan abadi.”
Untuk
pertama kali dalam hidupnya Khusraw menemukan lawan tanding yang
tangguh. Sebenarnya, bersaing dengan pemuda tersebut akan menjadi
sebuah tantangan. Setelah mengambil napas panjang, Khusraw
membelakangi Farhad, coba mengendalikan kemarahannya. “Bagaimana
dengan perasaannya? Sudahkah engkau mempertimbangkan apa yang mungkin
Yang Mulia Ratu harapkan? Dan bagaimana jika dia meminta apa yang
tidak engkau miliki, atau menuntut perbuatan yang bukan berada di
dalam kuasamu untuk melakukannya?”
“Hamba
tidak berharap Yang Mulia Ratu membalas cinta hamba; hamba hanya
meminta diizinkan untuk mencintainya.” Farhad beranjak dari duduknya
kemudian bangkit ketika Khusraw mengangguk. “Hati hamba, satu-satunya
yang hamba miliki, sudah menjadi miliknya,” kata Farhad yang sekarang
berhadapan muka dengan sang raja, “dan apabila dia menginginkan yang
lebih dari hamba, hamba akan memohon kepada Tuhan agar menganugerahi
kekuatan kepada hamba untuk memenuhi keinginannya.”
Khusraw
bergerak menuju pelayannya untuk menuangkan dua gelas anggur, lalu
dia menyerahkan satu gelas anggur kepada Farhad. “Sahabatku,” katanya,
tersenyum untuk pertama kalinya, “bagiku, kehidupanmu tampak penuh
kepahitan dan masalah.” Khusraw meneguk anggurnya dan menepuk bahu
Farhad, menggiringnya ke jendela besar yang memperlihatkan pemandangan
taman. “Kenapa engkau mau hidup di dalam kehidupan di mana kekasihmu
tidak berbuat apa-apa selain sekedar tahu keberadaanmu, padahal engkau
dapat memiliki seluruh cinta yang kauinginkan dari wanita cantik
lainnya? Kenapa engkau harus hidup melarat dan penuh derita, padahal
engkau dapat memiliki uang dan harta yang kau inginkan?”
Farhad
memahami apa yang disarankan Khusraw, tetapi kalau pun dia marah, ia
tidak menunjukkannya sedikit pun. Dengan tenang Farhad berpaling
kepada raja, “Hamba tidak menganggap hidup hamba sakit, karena bagi
seorang lak-laki yang benar-benar mencintai, sakit dan obatnya adalah
satu dan sama, sama dan satu. Dan kenyataan bawa kekasih hamba
mengetahui diri hamba atau pun tidak, adalah bukan tanggung jawabnya.
Hamba mencintainya demi kepentingannya dan bukan demi hamba. Cukup
bagi hamba hanya mencintainya. Dan sejauh hasrat hamba yang
diperhatikan, bagaimana hamba dapat memiliki hasrat, bila hamba
sendiri sulit menyadari keberadaan hamba?”
“Bagaimana jika seandainya rajamu memerintahkanmu agar meninggalkan Yang Mulia Ratu dan meninggalkan cinta yang bodoh ini?”
Farhad
tahu bahwa Khusraw pernah mencintai Syirin, tetapi baru sadar bahwa
Khusraw masih sangat mencintai Syirin. Tiba-tiba dia merasa iba kepada
sang raja. “Itu tidak dapat hamba patuhi, Tuanku,” katanya dengan
kilatan kesedihan di matanya.
Semakin
panjang percakapan itu berlangsung, Khusraw merasa semakin kalah.
Karena itu Khusraw menyuruh Farhad keluar ruangan lalu memanggil para
penasihatnya. “Dia orang yang berbahaya,” kata Khusraw. “Kita tidak
dapat menyuapnya dengan apa pun.” Kening Khusraw berkerut. “Kita harus
memikirkan cara untuk mengusirnya.”
Para
penasihat itu berunding dengan cepat dan memberitahukan tindakan apa
yang harus diambil. Khusraw kembali memanggil Farhad. “Kami berjanji
tidak akan mengganggu kau dan Syirin asalkan dengan satu syarat,” uacap
sang raja.
Arsitek
muda itu menjatuhkan dirinya bersujud, airmata bahagia menggelimang
di pipinya. “Apa pun titah Yang Raja Agung inginkan!”
“Kami
memerlukan jalan tembus yang melalui gunung Bistun, agar kita dapat
bepergian ke sisi lain gunung itu dengan lebih cepat dan efisien.”
Selama
bertahun-tahun Gunung Bistun menjadi rintangan yang berat. Semua
upaya untuk membangun jalan tembus berupa terowongan mengalami
kegagalan, karena batu granit pada tebingnya tidak memungkinkan para
pekerja membuat jalan perintis. Belum ada yang mampu mengatasi
kesulitan proyek tersebut. Khusraw tersenyum sendiri. Begitu Farhad
memulai tugas yang mustahil tersebut, tidak ada harapan untuk kembali.
Begitu engkau menyelesaikan pekerjaanmu, demi kepuasan kami, kami akan menikahkanmu dengan Syirin,” kata Khusraw.
“Hamba
akan mulai besok. Dan hamba akan melakukanya dengan kemampuan terbaik
hamba,” jawab Farhad, gembira karena sebentar lagi Syirin akan
menjadi miliknya.
Bagi
Farhad, proyek Gunung Bistun tidaklah sulit. Memimpikan kekasihnya
ketika dia bekerja keras, membuat pekerjaan tersebut lebih mudah
buatnya. Dia tidak menghiraukan terik matahari, otot-ototnya yang
sakit, ataupun punggungnya yang terluka. Setiap pukulan palu, baginya
laksana kata-kata manis dari Syirin. Pada malam hari, ketika dia
berhenti bekerja, ia memahat lukisan Syirin, Khusraw, dan dirinya pada
batu. Kemajuan hasil pahatannya mencerminkan kemajuan pekerjaannya di
gunung.
Syirin,
yang mendengar upaya Farhad, langsung tahu bahwa itu adalah rencana
yang ditujukan untuk kematian Farhad. Syirin menyadari bahwa dia harus
memaksakan diri untuk berangkat ke Bistun dan memperingatkan
sahabatnya.
Mereka
berbincang-bincang. Farhad memperlihatkan hasil karyanya. Proyek itu
sudah berjalan lebih dari setengahnya, dan Syirin memutuskan untuk
tidak memberitahukan sama sekali tentang rencana Khusraw. “Khusraw
akan dikalahkan oleh rencananya sendiri,” pikir Syirin.
Pada
hari itu juga Syirin kembali pulang dengan keyakinan akan menang.
Namun kunjungan Syirin diketahui. Mata-mata raja membawa berita
tersebut kepada Khusraw. Tertekan-panik, sang raja mengumpulkan para
penasihatnya. Di satu sisi dia takut Syirin akan jatuh cinta kepada
Farhad-untuk apa lagi Syirin menempuh kesulitan bila hanya untuk
mengunjungi Farhad? Di sisi lain, konstruksi jalan pintas Bistun hampir
selesai, apa yang harus ia lakukan dengan janjinya kepada Farhad? Dia
telah meremehkan sang pencinta.
Khusraw
menyukai ide baru penasihatnya. Karena itu dia mengirim seorang
lelaki tua ke Gunung Bistun. Orang ini menyapa Farhad dengan wajah
sedih. “Apa yang kau lakukan pada gunung ini?” tanyanya.
Farhad
menjelaskan tugasnya lantas menambahkan, “Untuk cintaku tidak ada
kerja yang sulit.” Dia menggores tanah dengan palunya. “Aku akan
memindahkan gunung ini bila perlu.”
Lelaki
tua itu menggelengkan kepala dengan sedih. “Kasihan…,” katanya. Lalu
memalingkan wajah seakan-akan ingin menyembunyikan airmata. Gerak
isyarat tersebut memancing Farhad.
“Apa maksudmu?” Tanya Farhad sambil meletakkan palu.
“Tidak ada.” Lelaki itu tampak enggan bicara.
“Engkau harus mengatakannya kepadaku.”
“Aku tidak dapat mengelak berpikir bahwa engkau bekerja begitu keras… dan untuk apa?”
Farhad memegang bahu lelaki tua itu dan membalikkan tubuhnya, “Tolonglah, katakan apa yang engkau tahu!”
“Kekasihmu sudah tiada,” lelaki tua itu membuka rahasia dengan nada gusar dan sedih. “Syirin telah tiada dua hari yang lalu.”
Farhad melepaskan bahu lelaki tua itu, tubuhnya merosor terduduk di tanah, terpaku.
Malam sudah datang. Orang tua itu sudah lama pergi. Namun Farhad belum sedikitpun berubah posisi.
Sedikit
demi sedikit, dia mati rasa. Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk
berdiri. Seakan-akan seluruh pekerjaan fisik berbulan-bulan yang telah
dilakukannya tiba-tiba berbalik menyerang tubuhnya. Dia
beringsut-ingsut menyeret dirinya di tanah hingga ia bisa meraih
pahatan wajah Syirin yang dibuatnya. Tangannya, yang penuh parut dan
melepuh, mulai berdarah ketika Farhad membelahi pahatan itu,
meninggalkan darahnya pada wajah yang terpahat. Kemudian dia menekan
wajahnya dengan penuh derita pada pahatan paras Syirin.
Keesokan
harinya, Khusraw memindahkan tubuh Farhad yang sudah tidak bernyawa
dari Bistun, dan menguburkannya dengan nisan sederhana.
Syirin
berkabung atas kematian Farhad selama beberapa hari. Khusraw menulis
ucapan dukacita kepada Syirin, yang dijawab dengan ucapan : “Engkau
telah mencabut persabatan kami. Aku berdoa semoga Tuhan akan mengampuni
jiwamu.”
Kenangan
tentang Farhad segera sirna dari benak orang-orang. Kehidupan terus
berlanjut. Cinta Syirin kepada Khusraw lebih kuat dari
sebelumnya-begitu kuat, sehingga Syirin memaafkan apa yang pernah
dilakukan Khusraw kepada Farhad. Syirin masih mencintai Khusraw,
sedangkan Khusraw juga masih mencintai Syirin. Mereka tidak pernah
bertemu, namun masing-masing selalu berusaha mencari tahu kabar satu
sama lain dari teman-teman mereka.
Sekali
lagi tragedi terjadi, ketika Maryam-sang ratu, sakit mendadak dan
menemui ajalnya. Ketika masa berkabung telah berlalu, Syirin
mengirimkan ucapan belasungkawa kepada Khusraw, dengan kalimat
tambahan, “Sekalipun ratu telah tiada, raja tak perlu merasa cemas.
Aku yakin Yang Mulia dapat menemukan kesenangan hidup dalam pelukan
wanita lainnya yang banyak tersedia.” Geram karena ejekan tersebut,
Khusraw tidak menjawabnya. Sebaliknya, dia menuruti saran Syirin dan
benar-benar melakukannya.
Selama
dua tahun Khusraw menyibukkan diri dengan mencobai pelbagai jenis
perempuan cantik. Tetapi akhirnya kemarahannya mereda dan dia menyesali
perbuatannya yang gegabah. Dia ingat kembali kepada sobat lama
sekaligus keluarganya, yaitu Syapur, yang telah menemani Syirin selama
bertahun-tahun. Khusraw kemudian mengirim pemberitahuan bahwa dia
ingin bertemu.
Syapur
mengatur pertemuan pribadi dengan sang raja di ruangannya. Syapur
juga mengupayakan agar Syirin menunggu di ruang sebelahnya. Dalam
jawabannya terhadap pertanyaan sang raja mengenai Syirin, Syapur
meyakinkan Khusraw bahwa Syirin belum berhenti mencintainya dan tidak
membiarkan seorang lelaki pun memasuki hatinya. Syirin mengikuti
berita tentang sang raja setiap hari, kata Syapur, menunggu saat untuk
bertemu kembali dengan Khusraw. “Aku lebih mengenalmu daripada dirimu
sendiri,” kata Syapur kepada Khusraw. “Aku tahu engkau juga masih
mencintainya. Tetapi, seperti halnya Syirin, engkau terlalu angkuh dan
terlalu keras kepala untuk mengakuinya.” Syapur berjalan mendekati
sang raja. “Ayo, sekaranglah waktunya untuk bertemu dengannya. Engkau
berutang maafnya.” Sebelum raja dapat menjawab, Syirin melangkah
masuk. Diam-diam Syapur lalu menyelinap pergi, menutup pintu di
belakangnya.
Kemarahan
dan keputusasaan yang mengendap bertahun-tahun seolah lenyap begitu
kedua pencinta itu berpelukan. Khusraw dan Syirin membincangkan semua
yang telah mereka alami selama perpisahan mereka. Kemudian Khusraw
berlutut di hadapan Syirin dan dengan rendah hati memohon Syirin agar
mau menjadi ratunya.
Keesokan
harinya, Syirin dikawal menuju ibukota. Enam orang pelayan
membantunya mengenakan baju gaun pengantin yang paling mewah yang ada
di kerajaan itu. Seluruh penduduk kota diundang menjadi saksi
peristiwa magis penyatuan Syirin dan Khusraw ketika mereka berlutut di
hadapan pendeta tertinggi. Akhirnya, mereka bersatu di dalam mahligai
pernikahan. Perayaan pernikahan tersebut berlangsung gegap-gempita
selama berhari-hari.
Syirin
menyerahkan takhta Armenia kepada Syapur, dan menjadi penasihat
paling bijak bagi Raja Khusraw. Rakyat mencintainya, dan dengan bebas
datang menemuinya membawa persoalan mereka. Syirin akan mendengarkan
mereka dan membuat rekomendasi kepada Khusraw. Persia tidak pernah
tampak semakmur seperti saat itu.
Namun
ada satu titik gelap di dalam gambaran yang cerah ini. Titik gelap
itu adalah Shirwieh, putra Khusraw dari Maryam. Pemuda ini telah
mengalami masa kecil berliku-liku, dan Khusraw mencemaskannya. Oleh
karena itu, atas saran para penasihatnya, sang raja tidak mengumumkan
Shirwieh sebagai pewaris takhtanya. Shirwieh tidak tahan melihat
ayahnya bahagia dalam pernikahan barunya dan melihat ayahnya semakin
popular di mata rakyat. Sudah lama Shirwieh menyimpan dendam, dia
menyalahkan kematian ibunya sebagai akibat pangabaian Khusraw. Keadaan
bertambah buruk, karena pemuda itu tidak dapat menolak pesona
kecantikan Syirin dan jatuh cinta kepada Syirin. Semua kepiluan ini
membuat Shirwieh yang iri dengki diam-diam berencana membunuh ayahnya.
Untuk
membangun kekuatan di istana raja, Shirwieh menyogok orang-orang di
situ dan menjanjikan mereka kesejahteraan dan posisi yang akan mereka
peroleh apabila ia berkuasa. Dengan hati-hati dia mengumpulkan
orang-orang di sekelilingnya dengan cara menyamar ke tempat-tempat umum,
dan bersikap sebagai orang biasa. Meskipun Raja KHusraw tidak pernah
memberi komentar dan saran serius di istana menanggapi pendapat
Shirwieh, Shirwieh memberi kesan kepada publik bahwa dia-lah yang telah
membela orang-orang lemah di istana, dan bahwa dia-lah yang berusaha
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Setelah
mengambil hati rakyat dan menjilat pejabat istana, Shirwieh member
sentuhan puncak pada rancangannya: dia dan pengikutnya menawan Khusraw
dan Syirin di istananya sendiri. Putra yang jahat itu lantas menduduki
takhta dan mengumumkan dirinya sebagai raja.
Anehnya,
sang Raja tidak berusaha mengambil kembali mahkotanya. Bersama
ratunya, dia hidup terasing dalam ruangan yang sederhana di mana
mereka dikurung.
Melihat
kebahagiaan mereka, palu kekalahan meremukkan hati Shirwieh. Dalam
bayangannya yang penuh hasrat, Shirwieh mengira Syirin akan tetap ingin
menjadi ratu, dan akan dengan pasrah kepadanya-raja yang baru. Namun
Syirin terus setia kepada cintanya. Hal yang tidak dapat ditahan
Shirwieh melihat Syirin selalu berada di dalam pelukan ayahnya. Oleh
karena itu Shirwieh menyibukkan diri dengan rencana barunya.
Lewat
tengah malam, bulan purnama bersinar, tidak ada suara terdengar dan
keheningan meliputi istana. Diam-diam Shirwieh membuka pintu ruang
tawanan. Syirin dan Khusraw tampak berdampingan terlelap dengan damai.
Shirwieh merasakan amarah bergejolak di dalam dirinya. Dia
menggertakan giginya, dan mencabut belati dari sarungnya. Dia
menggenggam belati itu di atas tubuh ayahnya sesaat, lalu
menghujamkannya tepat pada jantung ayahnya. Shirwieh bergegas lari
menuju pintu dan meninggalkan ruangan tersebut.
Khusraw
terbangun oleh rasa sakit yang membakar dadanya. Dia sadar ia sedang
sekarat, namun tidak ingin membuat Syirin takut, jadi dia menggigit
bibirnya, menahan penderitaannya hingga akhirnya dia tidak kuat lagi
membuka matanya. Tak lama kemudian, basahnya darah Khusraw membangunkan
Syirin. Tetapi, sudah terlambat, karena suami tercintanya telah
tiada-dibunuh dengan tangan dingin.
Tidak
sulit bagi Syirin untuk menebak siapa pembunuhnya, tapi dia tidak
berkata apa-apa. Penampilan Syirin sepenuhnya tenang dan pasrah, dengan
anggun dia menerima lamaran Shirwieh. Dia hanya meminta waktu untuk
mengadakan pemakaman yang terhormat bagi Khusraw.
Diam-diam
Syirin memberikan seluruh miliknya kepada kaum papah, hanya menyimpan
perhiasan dan gaun terbaliknya yang dkenakannya pada hari pemakaman.
Ketika dia bergabung dengan para bangsawati lainnya selama prosesi
pemakaman, orang-orang terkejut melihat bagaimana dia sengaja berdandan
dan bersolek. Apakah itu sikap yang pantas bagi seorang janda yang
sedang berkabung? Dan yang lebih buruk lagi, sang ratu kemudian menari
di kawasan perkuburan tersebut. Kelihatannya dia begitu senang dengan
kematian suaminya-atau mungkin dia juga sudah gila!
Di dalam ruang pemakaman Khusraw, Syirin meminta semua temannya supaya
membiarkannya sendirian untuk mengucapkan perpisahan kepada suaminya.
Ketika semua orang telah meninggalkan ruang pemakaman, Syirin berdiri
diam di samping suaminya, dengan penuh rasa hormat menatap mata
suaminya yang terpejam. Kemudian dengan tenang dia meraih sesuatu dari
balik gaunnya dan mengeluarkan pisau yang disembunyikannya. Tanpa
ragu Syirin menancapkan pisau tersebut pada jantungnya sendiri. Syirin
terjatuh di atas tubuh suaminya, dia merebahkan kepalanya di atas
dada suaminya. Syirin meninggal dengan senyum di bibirnya